Global Smart Cities Expand Through Tech Innovation
Pemerintah melalui Kementerian PUPR dan Bappenas mencanangkan target ambisius: menghadirkan 50 smart cities di Indonesia hingga tahun 2029. Program ini digadang-gadang menjadi jawaban atas berbagai masalah perkotaan—dari kemacetan, banjir, hingga keterbatasan layanan publik. Kata “pintar” seolah menjanjikan kota yang lebih ramah, efisien, dan modern.
Namun, apakah kota-kota di Indonesia benar-benar siap mengintegrasikan teknologi ke dalam tata kelola ruangnya? Atau jangan-jangan, “kota pintar” hanya berhenti sebagai slogan megah tanpa perubahan signifikan di lapangan?
Smart City: Antara Konsep dan Realita
Secara konsep, smart city tidak sekadar identik dengan pemasangan CCTV, lampu pintar, atau aplikasi aduan online. Lebih jauh, kota pintar adalah soal integrasi data, efisiensi energi, mobilitas berkelanjutan, serta partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.
Sayangnya, implementasi di lapangan sering kali berhenti di permukaan. Banyak daerah yang sekadar membuat aplikasi, tetapi tidak digunakan masyarakat karena tidak ramah pengguna atau tidak terintegrasi dengan sistem kota yang lain. Akibatnya, proyek smart city berubah menjadi proyek “showcase” tanpa dampak nyata.
Ketimpangan Kapasitas Daerah
Isu besar lainnya adalah kesenjangan kapasitas antar-daerah. Kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya mungkin lebih siap dengan infrastruktur digital dan SDM yang mumpuni. Tetapi bagaimana dengan kota-kota kecil atau daerah dengan APBD terbatas?
Jika tidak hati-hati, smart city justru melanggengkan ketimpangan: sebagian kota melesat modern, sementara kota lain tertinggal. Hal ini berbahaya karena bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan wilayah.
Opini Tokoh dan Publik
Dalam sebuah wawancara, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa menekankan bahwa smart city bukan sekadar proyek teknologi, melainkan transformasi tata kelola kota. “Kota pintar tidak bisa hanya berhenti pada digitalisasi layanan. Ia harus memastikan inklusivitas, keberlanjutan, dan menjawab kebutuhan warga sehari-hari,” ujarnya (Kompas, 12 Juni 2024).
Sementara itu, pakar tata kota dari ITB, Prof. Johan Silas, menyoroti potensi kesenjangan antarwilayah. “Kalau smart city hanya dimaknai sebatas aplikasi atau infrastruktur canggih, maka kota besar akan semakin maju, tapi kota kecil makin tertinggal. Prinsip pemerataan pembangunan harus tetap dijaga,” jelasnya (Silas, 2022).
Dari sisi masyarakat, kritik juga datang dari komunitas urban digital di Surabaya. Mereka menilai bahwa banyak aplikasi layanan publik tidak berfungsi optimal. “Ada aplikasi aduan, tapi keluhan kami tidak pernah ditindaklanjuti. Akhirnya warga jadi skeptis terhadap konsep smart city itu sendiri,” kata Rini Pratiwi, salah satu aktivis komunitas digital (Tempo, 5 Oktober 2023).
Risiko Kota Kosmetik
Kota pintar seharusnya lahir dari kebutuhan nyata warga kota. Namun dalam praktiknya, ada risiko smart city hanya menjadi kota kosmetik: indah dipresentasi, mewah dalam peresmian, tetapi kosong fungsi di lapangan.
Risiko ini semakin besar jika proyek hanya berorientasi pada pencitraan politik atau sekadar mengejar status “pintar” tanpa menyiapkan ekosistem pendukung—mulai dari infrastruktur dasar, literasi digital, hingga regulasi tata ruang yang adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Harapan: Dari Teknologi ke Keadilan Ruang
Meski banyak tantangan, tidak bisa dipungkiri bahwa smart city tetap membawa peluang besar. Dengan pemanfaatan data real-time, perencanaan tata ruang dapat lebih responsif terhadap dinamika perkotaan: pengendalian banjir berbasis sensor, pengaturan lalu lintas adaptif, hingga sistem transportasi terintegrasi.
Kuncinya adalah menempatkan manusia sebagai pusat. Teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Kota pintar yang sejati bukanlah kota dengan gedung tinggi penuh sensor, melainkan kota yang ruang publiknya inklusif, transportasinya terjangkau, lingkungannya sehat, dan masyarakatnya aktif terlibat.
Ambisi 50 smart cities di Indonesia harus dibaca secara kritis. Pintar secara teknologi belum tentu pintar secara sosial dan ekologis. Jangan sampai kota pintar hanya menjadi jargon pembangunan yang mempercantik wajah kota tanpa menyelesaikan masalah mendasar.
Masa depan kota Indonesia seharusnya tidak berhenti pada label “smart”, melainkan bergerak menuju kota berkeadilan ruang, berkelanjutan, dan benar-benar melayani warganya.
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. (2024). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas. https://www.bappenas.go.id
Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2023). Gerakan Menuju 100 Smart City. https://smartcity.kominfo.go.id
Kompas. (2024, 12 Juni). “Target 50 Kota Pintar Indonesia Tahun 2029, Realistis atau Ambisius?” https://www.kompas.id
Tempo. (2023, 5 Oktober). “Kritik Warga terhadap Aplikasi Smart City yang Tidak Optimal.” https://www.tempo.co
Silas, J. (2022). Perencanaan Kota dan Tantangan Era Digital. Bandung: ITB Press. https://itbpress.itb.ac.id